Sumber: Investor Daily
JAKARTA - Pemerintah segera mengambil langkah-langkah untuk menahan laju pelemahan nilai tukar rupiah yang dalam beberapa hari terakhir ini menembus level psikologis Rp 10.000 per dolar AS. Salah satu langkah yang akan diambil ialah mewajibkan transaksi di dalam negeri menggunakan mata uang rupiah.
Pelemahan nilai tukar rupiah yang berkepanjangan akan berdampak negatif terhadap industri di dalam negeri. Contohnya industri makanan dan minuman (mamin) yang sebanyak 60-65% bahan bakunya masih impor, namun 95% produk mamin dijual di dalam negeri.
Kalangan dunia usaha berharap pemerintah mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan menjaganya di bawah level Rp 10.000 per dolar AS. Pemerintah harus segera memantau transaksi yang menggunakan dolar AS di dalam negeri seperti di pelabuhan-pelabuhan ataupun properti.
Transaksi-transaksi yang masih menggunakan dolar tersebut harus secepatnya dikonversi dengan rupiah.
Selain itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang mengurangi gangguan iklim investasi dan perdagangan. Pemerintah juga dapat mempertimbangkan pemberian fasilitas bea ditanggung pemerintah untuk barang-barang modal yang masuk ke dalam negeri.
Hal itu sangat membantu bagi dunia usaha untuk tetap mempertahankan daya saing produk mereka. Di sisi lain, pemerintah diminta membuat kebijakan yang praktis agar bisa mendorong ekspor lebih tinggi lagi.
Peningkatan ekspor dapat menambah devisa dan pada akhirnya turut memperkuat nilai tukar rupiah.
Demikian rangkuman pendapat Menteri Perindustrian MS Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Fiskal Moneter dan Kebijakan Publik Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, dan Sekjen Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani. Mereka dihubungi Investor
Daily, Senin (22/7), terkait pelemahan nilai tukar rupiah yang menembus level di atas Rp 10.000 per dolar AS.
Sementara itu, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono dan ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti mengatakan, pergerakan rupiah sulit diprediksi.
Namun, mereka menilai lelang pertukaran (swap) valuta asing (foreign exchange) yang dilakukan Bank Indonesia (BI) sebagai langkah yang tepat untuk menyerap likuiditas valas dan menambah cadangan devisa.
Mata uang rupiah masih bergerak melemah terhadap dolar AS seiring minimnya sentimen positif di dalam negeri. Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin (22/7) sore bergerak melemah 15 poin menjadi Rp 10.070 dibanding posisi sebelumnya Rp 10.055 per dolar AS.
Menperin MS Hidayat mengatakan, pemerintah sedang mendalami kemungkinan untuk merancang aturan pelaksana UU No 7/2011 tentang Mata Uang. UU tersebut menetapkan, setiap transaksi harus dilakukan dengan mata uang rupiah. Hal itu, untuk menjaga rupiah dari tekanan fluktuasi.
Hidayat mengatakan, implementasi UU itu perlu dilakukan segera dengan tegas. Dia mencontohkan, negara-negara tetangga yang transaksinya tidak sepenuhnya didominasi mata uang asing, tapi mata uang asli negara tersebut.
"Wakil Menkeu Mahendra Siregar kemarin menyatakan meminta waktu untuk mendalami hal itu. Yakni, agar UU Mata Uang itu dibaca lagi dan dipraktikkan dengan tegas. Ini untuk menjaga rupiah. Sekaligus, demi kedaulatan rupiah," kata Hidayat, di Jakarta, Senin (22/7).
Rencana pemerintah itu didukung oleh Apindo dan Kadin. Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi mengatakan, saat ini masih banyak transaksi perdagangan yang menggunakan dolar AS, yang menjadi pemicu menguatnya mata uang itu terhadap rupiah.
"Di Tanjung Priok banyak pakai dolar AS. Kita ingin transaksi pakai rupiah. Ini bisa menolong dari pemakaian dolar," kata dia.
Sedangkan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Fiskal Moneter dan Kebijakan Publik Hariyadi Sukamdani mengatakan, semua transaksi business to business di dalam negeri harus menggunakan rupiah. "Pemerintah harus segera memantau transaksi yang menggunakan dolar AS di dalam negeri seperti di pelabuhan-pelabuhan ataupun properti. Transaksi-transaksi yang masih menggunakan dolar tersebut harus secepatnya dikonversi dengan rupiah," kata dia.
Terkait pelemahan rupiah yang terus terjadi, Menperin MS Hidayat mengatakan, pemerintah sedang berupaya mengembalikan posisi kurs ke level normal. "Akan dijaga dan dikembalikan pada posisi Rp 9.500-9.600. Kekuatan ekonomi kita selama ini adalah menjaga kestabilan rupiah. Kemarin, pak Agus (Gubernur BI) juga menjanjikan akan tetap menjaga. Memang, butuh proses. Bahkan, dengan rate saat ini pun akan tetap di-manage.
Sebab, ini juga masih banyak akibat pengaruh global," kata dia. Namun demikian, Sofjan ragu dolar AS akan menguat di Rp 9.500. Hal itu karena harga bahan baku yang diimpor sangat tinggi, di sisi lain harga komoditas yang diekspor cenderung rendah. "Tapi Rp 9.500 sudah nggak mungkin. Harga barang ekspor kita sedang menurun," kata dia.
Sofjan memprediksi, kurs rupiah akan menunjukkan tanda-tanda kembali ke posisi normal sebelumnya mungkin pada September 2013. Namun posisinya tidak lagi bisa ke Rp 9.500, setidaknya di Rp 9.800-10.000.
"Saat ini, dengan kondisi rupiah seperti itu, setidaknya membantu ekspor yang saat ini terkoreksi akibat anjloknya harga-harga komoditas," ujar dia.
Hariyadi Sukamdani mengatakan, dana-dana eksportir yang masih terparkir di luar negeri juga harus segera ditempatkan di dalam negeri.
"Itu akan memperkuat portfolio devisa kita," ujar dia. Dia melanjutkan, Bank Indonesia juga berperan penting dalam melakukan operasi untuk menjaga rupiah.
Namun, pemerintah juga dapat mempertimbangkan pemberian fasilitas bea ditanggung pemerintah untuk barang-barang modal yang masuk ke dalam negeri. Hal itu sangat membantu bagi dunia usaha untuk tetap mempertahankan daya saing produk-produknya.
"Tetapi harus diwaspadai juga pemberian fasilitas itu bagi impor barang-barang konsumtif," ucap dia. Menurut Haryadi, pelemahan rupiah tentunya menguntungkan eksportir, tetapi kalau terlalu lama pelemahannya juga tidak bagus. Idealnya, lanjtu dia, rupiah bisa stabil di kisaran Rp 9.000-9.500 dibandingkan dolar AS.
Dia menambahkan, jika nilai tukar rupiah sudah berada pada level Rp 10.000 ke atas, hal itu dapat mengancam fundamental ekonomi di dalam negeri. "Kalau rupiah sudah mencapai Rp 10.000 ke atas, perlu dipertanyakan kondisi fundamental kita. Harus ada upaya keras agar hal itu tidak terjadi dan berlarut-larut," kata dia.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mendesak pemerintah membuat kebijakan yang mengurangi gangguan iklim investasi dan perdagangan.
Menurut dia, pelemahan rupiah memberikan ruang kepada ekspor nonmigas mendapat tambahan marjin, khususnya ekspor nonmigas yang komponen biaya produksinya menggunakan rupiah.
Berdampak Negatif
Sekjen Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah berdampak negatif terhadap industri mamin di dalam negeri. Pasalnya, 60-65% bahan baku masih didatangkan dari impor. Sementara itu, 95% penjualan produk mamin masih dilakukan di dalam negeri.
"Artinya, pengeluaran kita masih banyak dalam bentuk dolar, sementara pemasukan dalam bentuk rupiah. Ini tentu tidak menguntungkan bagi industri," kata Franky.
Dia menegaskan, pengadaan bahan baku dari impor dilakukan bukan karena harganya lebih murah, melainkan ketidaktersediaan produk-produk tersebut di dalam negeri. "Atau kalaupun ada, tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan industri nasional. Sehingga kami harus mendatangkan barang tersebut dari luar negeri," ujar dia.
Franky berharap, pemerintah dapat menjaga nilai tukar rupiah di level Rp 9.500-9.700. "Jika saat ini rupiah telah menyentuh angka Rp 10.000 per dolar AS, artinya harus ada perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk kembali memperkuat rupiah," ujar dia.
Di sisi lain, menurut dia, pemerintah dapat mencari titik-titik simpul untuk membuat kebijakan yang praktis agar bisa mendorong ekspor lebih tinggi lagi. "Peningkatan ekspor dapat menambah devisa dan pada akhirnya turut memperkuat nilai tukar rupiah," ujar dia.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah memberikan tambahan daya saing untuk ekspor, namun akan sangat memberatkan neraca perdagangan Indonesia. Terlebih, negara-negara tujuan ekspor juga mengurangi permintaannya akibat krisis global sehingga akan cukup menggerus posisi ekspor tahun ini.
Sulit Diprediksi
Sementara itu, ekonom UGM Toni Prasetyantono menuturkan, pergerakan rupiah sulit diprediksi karena harus membandingkannya dengan pergerakan kurs negara emerging markets lainnya. Namun, dia memperkirakan idealnya kurs rupiah berada pada kisaran Rp 10.000 per dolar AS.
"BI (Bank Indonesia) sudah benar melakukan lelang foreign exchange swap untuk menyerap likuiditas valas. Ini akan menambah cadangan devisa," ujar Toni.
Sedangkan dari sisi eksternal, lanjut dia, Kepala Bank Sentral Amerika Serikat (Fed) Ben Bernanke belum tentu mengurangi kebijakan quantitative easing (QE), sehingga ada kemungkinan penguatan dolar AS akan tertahan. Jika ini terjadi, pelemahan rupiah lebih lanjut akan mereda. "Namun jika rupiah masih melemah, apa boleh buat, BI Rate terpaksa dinaikkan lagi," ungkap dia.
Sedangkan ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti mengungkapan, kendati melemah, nilai tukar rupiah saat ini masih sesuai fundamentalnya.
Pasalnya, pelemahan rupiah tidak hanya terjadi di Indonesia. "Berapa nilai tukar yang ideal, saya nggak bisa prediksi. Karena harus melihat juga nilai tukar negara-negara lainnya," terang dia.
Destry pun menilai, langkah yang diambil Bank Indonesia dalam melakukan lelang swap sudah cukup bagus untuk memberikan kepastian kepada pemilik dolar. Pasalnya, menurut dia, salah satu permasalahan di Indonesia adalah langkanya dolar Amerika Serikat di pasar.
"Dengan adanya lelang swap tiap minggu, itu memperdalam pasar finansial. Problem utamanya market langka. Karena itu gimana caranya menjaga likuiditas dolar dan rupiah di pasar," tambah dia. (nti)
Copyright © 2016 All rights Reserved | Template by Tim Pengelola Website Kemenperin