JAKARTA - Nilai impor bahan baku obat diprediksi mencapai Rp 11,4 triliun pada 2012, atau naik 8,5% dibandingkan tahun lalu Rp 9,59 triliun. Angka tersebut mencapai 95% dari total nilai bisnis bahan baku obat di Indonesia.
"Nilai bisnis bahan baku impor tersebut sekarang telah mencapai 25% dari total nilai bisnis farmasi nasional," ujar Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pemasok Bahan Baku Obat (Pharma Materials Management Club/PMMC) Kendrariadi Suhanda di Jakarta, Kamis (8/3).
Data IMS Health yang menunjukkan, tahun 2011, pasar farmasi nasional mencapai Rp 43,08 triliun. Tahun 2012, pasar farmasi nasional diproyeksikan tumbuh sekitar 13% menjadi Rp 48,61 triliun dari tahun lalu.
Kendrariadi melanjutkan, Indonesia saat ini mengimpor bahan baku obat terbanyak dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa. Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat Indonesia, yakkni sekitar Rp 6,84 triliun (60%), India di posisi kedua Rp 3,42 triliun (30%), dan Eropa Rp 1,4 triliun (10%).
Sementara itu, Deputi Kemenko Perekonomian Eddy Putra Irawadi mengatakan, pemerintah dan pelaku usaha tengah merancang upaya menekan ketergantungan impor tersebut, mulai dari komponen bahan baku hingga teknologi yang digunakan.
Pemerintah bertekad bisa memangkas hingga 20% dari total ketergantungan itu, dengan mendorong produksi bahan baku obat substitusi di dalam negeri. "Karena itu, investor juga membutuhkan fasilitas insentif dan kemudahan guna mendorong peluang membangun industri bahan baku obat di sini," imbuh Eddy.
Menurut dia, investor asal India saat ini sangat tetarik membangun pabrik bahan baku obat di Tanah Air di tengah krisis ekonomi yang melanda Eropa. Namun, mereka juga menanyakan sejumlah peluang insentif yang bisa didapatkan jika merealisasikan investasinya.
"Tax holiday, tax allowance, ja-minan bea masuk (BM), fasilitas kawasan ekonomi, hingga jaminan investasi merupakan insentif-insentif yang menjadi perhatian calon investor," katanya.
Edy melanjutkan, beberapa komponen bahan baku obat dan teknologi farmasi sebenarnya sudah dibuat di Indonesia. Bahkan, Indonesia telah memiliki laboratorium yang mampu memproduksi penisilin, gelatin, kapsul, infus, dan bahan pendukung lainnya.
"Tapi, kita tetap kejar investasi asing agar mau masuk ke sini, mulai dari kimia hingga industri bahan bakunya, termasuk ketersediaan teknologinya, sehingga ketergantungan terhadap impor berkurang," kata Eddy.
Kerja Keras
Kendrariadi berpendapat, upaya membangun industri bahan baku obat di Indonesia membutuhkan kerja keras. Pasalnya, saat ini, beberapa industri bahan baku obat setengah jadi di Tanah Air juga masih mengandalkan bahan dasar impor. Dia mencontohkan produk parasetamol dan penisilin.
"Hal itu terjadi karena pengoperasian industri bahan baku obat di Indonesia kurang mempunyai daya saing karena membutuhkan biaya tinggi," tuturnya.
Karena itu, pengembangan industri farmasi harus dimulai dari industri kimia dasar agar kuat. Selain itu, pembangunan pabrik bahan baku obat di Indonesia juga harus memperhitungkan pasokan ke pasar ekspor. Sebab, pasar farmasi .nasional saat ini masih relatif kecil atau hanya sekitar 0,3-0,4% dari total pasar farmasi dunia.
"Jadi, perhitungkan industri dasarnya, pasar, hingga teknologi yang diaplikasi, sehingga mudah digunakan dan efisien. Kita juga harus mulai mengembangkan risetnya, misalnya bekerja sama dengan universitas dan harus didukung pemerintah," kata dia.
Perlu Insentif
Sementara itu, produsen farmasi di Tanah Air terang-terangan meminta pemerintah memberikan fasilitas insentif tax holiday. Hal tersebut dibutuhkan untuk memacu investasi di sektor farmasi.
Ketua Asosiasi Perusahaan Farmasi Asing di Indonesia (International Pharmaceutical Manufacturer Group/IPMG) Luthfi Mardiansyah mengatakan, jika insentif itu diberikan, investasi baru akan mengalir signifikan ke Indonesia. Bahkan, peluang investasi bahan baku farmasi juga akan naik signifikan.
"Industri farmasi membutuhkan insentif karena membutuhkan modal besar, minimal US$ 100 juta. Investasi di sektor ini pun membutuhkan insentif, misalnya diberikan tax holiday selama lima tahun," ujar Luthfi.
Menanggapi hal itu, Menteri Perindustrian MS Hidayat tidak mau berkomentar banyak. Apalagi, sebelumnya, pemerintah sudah mengumumkan investor yang berhak menerima insentif tax holiday.
"Syaratnya sudah jelas, yakni nilai investasinya harus signifikan, syukur-syukur di luar pulau Jawa dan menyerap tenaga kerja, itu mungkin bisa dipertimbangkan. Tapi kalau obat atau bahan baku, saya kira tidak ada," kata dia.
sumber : Investor Daily
Share:Copyright © 2016 All rights Reserved | Template by Tim Pengelola Website Kemenperin