BERITA INDUSTRI

Daya Saing RI Lemah Hadapi MEA


Senin, 5 Januari 2015

Sumber: Investor Daily

JAKARTA - Mayoritas produk manufaktur Indonesia yang diperdagangkan di lingkup Asean memiliki daya saing rendah. Hanya sekitar 1% produk industri domestik yang punya daya saing kuat bila Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) diberlakukan mulai akhir 2015. Di sisi lain, sekitar 30% produk industri berdaya saing sedang pun bisa terancam bila tidak ditangani serius.

Kenyataan itu terungkap dari studi Ditjen Kerjasama Industri Internasional (KII) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang didasarkan pada analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Seperti diungkapkan Dirjen KII Kemenperin Agus Tjahajana di Jakarta, pekan lalu, studi dilakukan dengan memanfaatkan data-data hasil pantauan Industrial Resilience Information System (IRIS). Data ini sekaligus sebagai acuan early warning system (EWS) terhadap barang-barang impor asal Asean yang masuk ke pasar domestik.

Agus mengatakan, data IRIS diambil selama tiga tahun (2011-2013), merujuk pada ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Negara yang dirugikan oleh sebuah pakta perdagangan dapat mengadukan ke WTO, tapi laporan yang diajukan harus berdasarkan data selama tiga tahun berturut-turut.

Kemenperin membagi kelompok produk dalam empat kuadran. Kuadran I adalah produk dengan daya saing kuat, kuadran II kelompok berdaya saing sedang, kuadran III berdaya saing lemah, serta kuadran IV merupakan kelompok produk dengan daya saing lemah sekali. “Kelompok kuadran IV ini hopeless alias kartu mati jika MEA diberlakukan,” kata Agus.

Menurut Agus Tjahajana, tercatat ada 1.596 harmonized system (HS) number yang daya saingnya sedang dari 4.778 HS produk yang diperdagangkan Indonesia dengan Vietnam. Artinya, hanya 33% produk industri nasional yang memiliki daya saing sedang terhadap produk Vietnam. Sedangkan dengan Thailand tercatat 26% produk Indonesia berdaya saing sedang, dengan Singapura 22%, dan dengan Kamboja 28%. (Lihat tabel)

“Studi tersebut menunjukkan RCA produk kuadran II menurun. Produk-produk ini terancam sehingga bisa berpeluang kalah dari produk sejenis negara lain,” kata dia.

RCA merupakan ukuran daya saing produk yang diperdagangkan antarnegara atau dengan sekumpulan negara. Jika dalam tiga tahun RCA suatu produk terus positif dan bertumbuh, produk tersebut masuk kuadran I atau kategori berdaya saing kuat. Artinya, ekspor Indonesia unggul atas produk itu di negara tujuan.

Apabila RCA dalam tiga tahun menurun menjadi negatif, meski ada pertumbuhan, produk tersebut berdaya saing sedang atau kuadran II. Dalam hal ini, produk sejenis milik negara mitra lebih kompetitif di pasar.

Adapun jika produk dalam tiga tahun memiliki RCA positif tapi terus menurun, mereka masuk kuadran III atau berdaya saing lemah. Artinya, Indonesia lebih banyak mengimpor produk itu dari negara mitra. Jika dalam tiga tahun RCA negatif dan terus menurun, produk masuk kuadran IV atau berdaya saing lemah sekali. “Artinya, Indonesia merupakan net importer atas produk tersebut,” kata Agus.

Studi juga memperlihatkan bahwa rata-rata tak sampai 1% produk yang memiliki daya saing kuat (kuadran I). Hanya dengan Laos, 7,4% produk Indonesia memiliki daya saing kuat.

11 Sektor Industri

Direktur Ketahanan Industri Ditjen KII Kemenperin Dharma Budhi menuturkan, studi dilakukan terhadap 11 kelompok industri, yakni industri kimia dasar, mesin, kimia hilir, minuman dan tembakau, alat angkut dan transportasi darat, serta material dasar logam.

Itu belum termasuk hasil hutan dan perkebunan, tekstil dan aneka, makanan, maritim, serta elektronik dan telematika.

Berdasarkan studi tersebut, dari total 471 HS produk kimia dasar yang diperdagangkan dengan Vietnam, hanya 11 HS yang memiliki daya saing kuat. Sisanya, 198 HS berada di kuadran II, 189 HS di kuadran III, dan 73 HS di kuadran IV. Artinya, 262 HS atau 56% produk masuk kategori berdaya saing lemah dan lemah sekali.

Dari 11 sektor industri, hanya kimia dasar yang memiliki jumlah produk berdaya saing kuat terbanyak. Yang terendah adalah maritim (total 26 HS), dengan hanya 2 HS produk berdaya saing kuat. Sisanya, 9 HS berdaya saing sedang, 11 HS lemah, dan 4 HS lemah sekali. Dengan kata lain, 57% produk berdaya saing lemah dan sekali.

Dengan Filipina, lanjut dia, Indonesia memiliki jumlah produk berdaya saing kuat terbanyak di sektor elektronik dan telematika. Dari 554 HS yang ditransaksikan, tercatat 8 HS kuat, 182 HS sedang, 223 HS lemah, dan 141 HS lemah sekali. Di sektor mesin, Indonesia memiliki jumlah produk dengan daya saing lemah sekali terbanyak. Yakni, 173 HS dari total 688 HS. Sisanya adalah 8 HS kuat, 201 HS sedang, dan 308 HS lemah sekali.

Dengan Malaysia, kata dia, tercatat 2.699 HS dari total 6.747 HS diperdagangkan berdaya saing lemah sekali. Dari angka itu, sektor material dasar logam mendominasi, dengan 444 HS dari total 870 HS produk sejenis yang diperdagangkan.

“Kondisi serupa terjadi dengan Singapura. Dari total 7.615 HS yang diperdagangkan, tercatat 3.953 HS yang berdaya saing lemah sekali dan hanya 27 HS yang kuat. Sebanyak 6 HS dari 99 HS produk industri maritim yang diperdagangkan berdaya saing kuat. Di sisi lain, sebanyak 777 HS dari total 1.250 HS produk industri mesin yang diperdagangkan berdaya saing lemah sekali,” kata Dharma Budhi.

Saat ini, kata Agus Tjahajana, tercatat sekitar 10.200 HS produk yang beredar. Dari jumlah itu, sekitar 9.000 HS merupakan produk industri. Indonesia tidak memperdagangkan keseluruhan produk industri tersebut dengan negara-negara di Asean, tapi hanya sekitar 7.000 HS produk. Saat ini, dari total ekspor tahunan Indonesia, hanya 30% yang ditujukan ke Asean. Sisanya dilempar ke pasar global, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Eropa.

Pemerintah, menurut Agus, harus menjaga dan mengawasi produk setiap kuadran. Produk-produk yang masuk kuadran I harus dijaga agar daya saingnya tidak menurun. Produk-produk kuadran II menghadapi ancaman, berpotensi defisit.

“Tanpa ada perbaikan struktural, jumlah HS produk industri berdaya saing tinggi bisa melorot. Keadaan ini tidak menguntungkan Indonesia, karena

pasar domestik rentan dibanjiri produk impor. Selain itu, Indonesia tidak dapat mengkapitalisasi peluang yang ada saat MEA berlaku,” tutur Agus.

Tercatat bahwa 1,36% produk Indonesia yang diperdagangkan dengan Vietnam berdaya saing kuat, Filipina 0,98%, Thailand 0,37%, Singapura 0,35%, Kamboja 1,92%, serta Myanmar 0,44%.

Trade Performance Index

Sementara itu, mengutip data Trademap, Agus memaparkan peringkat trade performance tahun 2010 terhadap 14 produk negara-negara Asean. Data menunjukkan bahwa Indonesia unggul 9 produk dibandingkan Brunei, unggul 4 produk dibanding Malaysia, 2 produk dibanding Thailand, 12 produk dengan Filipina, 5 produk dengan Singapura, 9 produk dengan Vietnam, 11 produk dengan Kamboja, 14 produk dengan Myanmar, dan 12 produk dibandingkan Laos.

Ke-14 produk yang diperingkat adalah pangan segar, pangan olahan, kayu olahan, tekstil, kimia, produk kulit, basis manufaktur, permesinan nonelektronik, produk teknologi informasi (TI) dan elektronik konsumsi, komponen elektronik, peralatan transportasi, pakaian, produk industri aneka, dan mineral.

Di pihak lain, Sekjen Kemendag Gunaryo menekankan pentingnya pelaku usaha Indonesia memanfaatkan momentum MEA. Gunaryo tidak memungkiri MEA bisa membuat Indonesia dibanjiri produk impor. Untuk itu, Kemendag gencar menjaga standar produk barang yang masuk ke Indonesia melalui Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK).

“Tujuannya agar Indonesia tidak hanya dijadikan pasar, terutama untuk produk berkualitas rendah. Barang yang beredar di pasar harus dilengkapi SNI. Dengan SNI, kita mesti berani," ujar Gunaryo.

Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kemendag Bachrul Chairi menambahkan, industri yang berbasis sumber daya alam, seperti furnitur, batubara, dan minyak sawit mentah (CPO) termasuk kelompok yang siap bersaing di MEA.

Industri otomotif, menurut Bachrul, juga sudah siap, terutama dengan perpindahan basis produksi dari Thailand ke Indonesia. Kesiapan industri otomotif terlihat dari nilai ekspornya. Tahun ini, ekspor otomotif diperkirakan mencapai US$ 4,5 miliar. Pada 2015 ditargetkan mencapai US$ 6-7 miliar dan US$ 10 miliar pada 2016.

Bachrul mengakui, salah satu sektor yang dikhawatirkan akan tergerus adalah elektronik, karena belum ada transfer teknologi dan hanya dijadikan tempat perakitan. Padahal, jika ada research and development (R&D), Indonesia bisa mengembangkan jasa pendukung pascaproduksi yang menghasilkan nilai tambah.

Bachrul menyatakan, MEA tidak akan mengubah pola perdagangan karena bea masuk (BM) 0% sudah ditetapkan sejak 2010. Yang harus diperhatikan adalah unsur jasa dan investasi. Sektor-sektor yang akan diarahkan menyambut MEA di antaranya sektor maritim, produk subtitusi impor, logistik, dan jasa.

“MEA jangan hanya dilihat sebagai pasar, tapi bagian global value chain Indonesia dengan kenyamanan investasi dan mengundang investasi di Indonesia yang difokuskan produk dalam negeri dan ekspor,” ujar Bachrul.

Suara Asosiasi

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didien Junaedy mengungkapkan, MEA 2015 membuka peluang pertumbuhan bisnis industri di dalam negeri, sekaligus menyimpan ancaman bagi pasar lokal. “Tinggal bagaimana pemerintah dan pelaku industri bisa memanfaatkan peluang tersebut dan mengantisipasi ancaman yang muncul,” ujar dia.

Kesiapan industri pariwisata, menurut Didien, telah mencapai 75% dalam menghadapi MEA. Kelemahan yang mendesak untuk diatasi adalah pada SDM dan infrastruktur penunjang pariwisata.

SDM pariwisata Indonesia masih kalah jauh dari Singapura, Malaysia, maupun Thailand. “Saat ini, hanya sekitar 30% SDM pariwisata yang sudah

mengantongi sertifikasi. Jangan sampai saat MEA diberlakukan, kita hanya menjadi pasar, ketika SDM-SDM pariwisata dari negara Asean membanjiri pasar Indonesia,” tutur dia.

Di sisi lain, kata Didien, MEA juga menjanjikan peluang besar bagi masuknya investasi baru di industri nasional, termasuk pariwisata. “Pemerintah harusnya mampu memberikan sejumlah insentif untuk semakin menarik investasi dari luar,” ungkap dia. 

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiharto menyatakan, semua agen pemegang merek (APM) sudah menyiapkan diri dengan strateginya masing-masing menghadapi MEA. “Umumnya mereka sudah berinvestasi di negara-negara Asean dan sudah tahu apa yang harus diakukan,” ujarnya.

Jongkie menekankan, pengembangan industri komponen akan mendorong daya saing industri otomotif. Indonesia saat ini hanya memiliki sekitar 700 pabrik komponen, kalah dari Thailand yang memiliki 2.000 pabrik komponen. Selain itu, komponen lokal masih sulit bersaing karena harganya kurang kompetitif, akibat bahan baku masih diimpor dan dikenai BM.

Pada industri penerbangan, Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Arif Wibowo menegaskan, liberalisasi penerbangan Asean (Asean Open Sky 2015) merupakan peluang bagi industri penerbangan nasional untuk ekspansi ke pasar regional.

“Kita harus melihat ini sebagai peluang. Ini sudah menjadi political will dari pemerintah, dan ini bukan masalah. Kebijakan sudah dibuat secara detail, kok. Kita tinggal melakukan capitalize usaha saja,” kata Arif.

Arif juga mengatakan, kelima bandara Indonesia yang akan dibuka untuk Asean Open Sky 2015 harus ditingkatkan kapasitasnya dan infrastrukturnya diperbaiki untuk meningkatkan standar kualitas pelayanan.

Arif menyatakan, kendala utama yang dihadapi maskapai Indonesia memasuki Asean Open Sky adalah tidak adanya iklim bisnis yang setara dengan negara lain. “Misalnya harga avtur kita lebih mahal. Kami masih dikenai BM impor komponen pesawat dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang sebetulnya sudah lama kami usulkan agar dihapus,” katanya.

Share:

Twitter