Sumber: Investor Daily
JAKARTA - Perusahaan elektronik Indonesia belum siap menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan berlangsung mulai Januari 2016. Saat ini saja, pasar elektronik Indonesia dikuasai produk impor, termasuk yang berkualitas rendah. Memanfaatkan kemudahan impor, sebagian industriawan sudah beralih menjadi pedagang. Ini semua terjadi karena pemerintah tidak memiliki visi dan industri elektronik tidak mendapatkan dukungan yang memadai.
“Selama ini pemerintah selalu mengatakan siap menghadapi MEA dan saya bertanya dalam hati, apanya yang siap,” ujar Ketua Umum Federasi Gabungan Elektronik (Gabel) Rachmat Gobel dalam diskusi tentang “Manfaat MEA bagi Perusahaan Elektronik Indonesia”, di Jakarta, Rabu (8/10).
Hadir dalam diskusi ini ekonom Faisal Basri, Dirjen Kerjasama Industri Internasional (KII) Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana, dan Dirjen
Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan. Turut hadir adalah Ketua Gabel Alam Surya Putra, Ketua Bidang Industri
Federasi Gabel Ali Subroto Oentaryo, Sekjen Federasi Gabel Oki Widjaja, Pemimpin Redaksi Investor Daily Primus Dorimulu, dan Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Arif Budisusilo.
Ketidaksiapan industri elektronik Indonesia terlihat jelas pada serbuan produk elektronik impor yang terus meningkat, kontribusi ekspor elektronik Indonesia yang terus menurun, dan lambatnya pertumbuhan serbuan elektronik dari dalam negeri. Banyak produk hukum yang mengganjal pertumbuhan industri. Kebijakan fiskal cenderung mematikan industri elektronik.
“Masalah itulah yang membuat struktur industri elektronik dan elektrik di dalam negeri masih lemah. Padahal, industri ke depan semakin menghadapi tantangan kenaikan biaya produksi ketika subsidi BBM dihapus sepenuhnya. Untuk itu, dua bulan ke depan menjadi waktu maksimal yang harus dimanfaatkan pelaku usaha di dalam negeri, untuk mengevaluasi persoalan yang menjadi tantangan industri kita,” kata Gobel.
Gobel mengatakan, Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan peluang yang besar dari pelaksanaan MEA. Apalagi, RI memiliki pasar yang besar. Namun, hingga kini, pemerintah belum memiliki rancangan yang nyata. Pemerintah juga masih setengah hati dalam menarik investasi dan tidak mengetahui apa yang diinginkan.
“Dalam setahun ini, kita juga sibuk dengan pemilu, baik legislatif maupun presiden. Praktis, pemerintah tidak fokus bagaimana upaya menghadapi MEA. Industri kita secara umum saya yakin tidak siap,” imbuh dia.
Sementara itu, negara Asean yang lain sudah sejak awal menyiapkan diri dengan baik. Misalnya Thailand yang ingin mengembangkan industri otomotif, mereka secara komprehensif mempersiapkan dan konsisten membangun industrinya sehingga kini menjadi besar. Investasi di industri komponen otomotifnya juga kuat. Sementara itu, meski penjualan otomotif Indonesia yang berpenduduk banyak bisa menyamai Thailand, dari sisi kekuatan industri RI jauh tertinggal.
“Awalnya, Pemerintah Thailand menyadari industri otomotif di Amerika Serikat mengalami kesulitan. Mereka lalu berinisiatif ingin menjadi Detroitnya Asia. Semua kebijakan yang diterbitkan kemudian mengarah ke sana, untuk mendukung mereka menjadi negara dengan industri otomotif terkuat di Asean. Ini berbeda dengan cara pandang kita di sini, yang katanya pasarnya besar, tapi kekuatan industrinya ada di luar. Tidak ada kebijakan yang mendukung kita jadi negara industri yang kuat dan maju,” kata Gobel.
Masalah BM Komponen
Gobel mengatakan, banyak kebijakan pemerintah justru keliru, seperti bea masuk (BM) atas impor barang yang lebih murah dibandingkan komponen. Akibatnya, barang-barang yang dijual di pasar domestik banyak produk impor.
Pemerintah juga mengklaim mendorong pertumbuhan dan pengembangan industri manufaktur di dalam negeri melalui transfer teknologi, namun kenyataannya, tidak ada kebijakan-kebijakan insentif yang mendorong tumbuhnya industri dan transfer teknologi tersebut.
Akibatnya, sebagian besar produk-produk di pasar domestik adalah hasil assembling (perakitan). Meski ada juga yang manufaktur, lanjut dia, tetap saja sebagian komponennya masih impor.
Misalnya kulkas, komponen intinya adalah kompresor, tapi sampai saat ini masih diimpor. Televisi (TV) dengan aplikasi teknologi canggih juga masih
tergantung pada pasokan komponen impor hingga 70-80%.
“Ini berarti struktur industrinya kuat di luar negeri, bukan di sini, meski pasar terbesarnya ada di Indonesia. Pemerintah seharusnya bisa membaca
kondisi tersebut,” kata Gobel.
Untuk industri elektronik dan elektrik di Indonesia, lanjut Gobel, pihaknya akhirnya mengambil inisiatif dengan berencana merancang road map industri tersebut. Hal ini juga bertujuan menyempurnakan road map yang sudah ada dengan Visi 2030 yang menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang kuat dan maju.
Ia menegaskan, pihaknya mengharapkan masukan dari para pelaku industri, termasuk dalam upaya perusahaan elektronik mempersiapkan diri mengembangkan usaha tanpa subsidi BBM dan listrik. “Kita tidak bisa lagi hanya berkeluh kesah, tapi harus bisa memberikan masukan yang positif,
mengenai apa yang harus dilakukan lima tahun mendatang. Kita sudah membuang waktu percuma selama 10 tahun ini. Semoga, dalam dua bulan
ini, kita bisa merancang road map, menyempurnakan yang sudah ada, mengenai apa yang harus kita lakukan,” ujarnya.
Ia berharap, pelaku industri yang benar-benar mau membangun industrinya di Indonesia didukung, jangan sampai mereka menjadi pedagang. Pihaknya optimistis, presiden terpilih Joko Widodo fokus mengeluarkan kebijakan yang berorientasi pada sektor riil sesuai harapan.
“Presiden terpilih kan pernah menjadi orang lapangan, sehingga bisa memahami kondisinya. Apalagi, saat ini, tingkat pengangguran tinggi,” kata Gobel.
Sementara itu Agus Tjahajana mengatakan, berdasarkan ranking indeks daya saing di Asean, industri teknologi informatika dan produk elektronik konsumsi Indonesia hanya menang atas Brunei Darussalam dan Myanmar. Sedangkan industri komponen elektronik RI hanya menang atas Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, dan Laos.
“Indonesia masih kalah di kedua sektor tersebut menghadapi persaingan dengan negara-negara Asean yang lain,” ungkapnya.
Mengutip data World Bank 2014, Agus memaparkan, hanya Singapura dan Malaysia yang menikmati surplus neraca perdagangan elektronik, baik dengan negara-negara Asean yang lain maupun ke pasar dunia. Sementara itu, Indonesia bersama Thailand, Kamboja, dan Brunei Darussalam masih mengalami defisit.
Tahun 2013, ekspor elektronika Indonesia ke dunia mencapai US$ 8,09 miliar, sedangkan ke Asean hanya US$ 593,20 juta.
“Pada periode yang sama, meski nilai ekspornya lebih rendah, Vietnam mampu menikmati surplus neraca perdagangan elektronik di Asean, dengan
nilai ekspor mencapai US$ 319, 11 juta. Sementara itu, pada posisi defisit, Vietnam mengekspor US$ 567,64 juta ke pasar dunia,” tuturnya.
Berdasarkan ranking International Trade Centre, Trade Map-International Trade Statistics 2013 Asean Electronics Exports by Country, Indonesia berada pada posisi 29 dengan rate pertumbuhan lima tahun sebesar 28,1%. Ini tertinggal jauh dibandingkan negara Asean lain, yakni Singapura yang menempati rangking global kelima, Malaysia pada urutan 10, Vietnam di posisi 12, Thailand pada ranking 14, dan Filipina pada posisi ke-20. Vietnam mencetak rate pertumbuhan lima tahun tertinggi, yakni 814,2%.
“Karena itu, jangan sampai kita terlena tanpa tahu apa kondisi sebenarnya. Sekarang bukan saatnya saling menyalahkan. Oke, pemerintah salah,
kami perbaiki,” tandasnya.
Namun demikian, pelaku usaha juga harus melakukan sesuatu. Jangan sampai ketika pemerintah ingin melakukan sesuatu untuk mendorong pertumbuhan, tapi tidak disambut oleh pelaku usaha.
“Pelaku usaha harus responsif. Saya mengkhawatirkan, kita nantinya lebih banyak dimanfaatkan daripada memanfaatkan MEA. Dengan gambaran
ini, kita harus berusaha keras, mengembangkan bersama. Sebab, kalau mau bertempur, seharusnya tahu apa permasalahan yang ada dan bagaimana agar bisa memanfaatkan. Kita harus melihat diri kita, memperbaikinya,” kata Agus.
Agus mengakui, dengan kondisi daya saing Indonesia saat ini, sulit untuk memacu pertumbuhan sektor manufaktur nasional. Padahal, kata dia, Indonesia harus mengejar pertumbuhan tinggi untuk menjadi negara maju, yakni dengan porsi industri mencapai 40% terhadap PDB nasional.
“Saat ini, sumbangan industri terhadap PDB hanya sekitar 23%, padahal kita pernah mencapai prestasi sekitar 31%. Artinya, kondisi saat ini mengalami penurunan. Padahal, dengan situasi daya saing seperti sekarang, untuk menaikkan 1% per tahun saja sulit,” kata Agus.
Insentif Fiskal
Sementara itu, Faisal Basri mengatakan, Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang yang ditawarkan MEA. Indonesia harus bisa dipilih menjadi basis produksi global oleh investor.
Ia mengatakan, pemerintah seharusnya menekan biaya-biaya tinggi yang dibebankan ke industri, sehingga bisa memacu pertumbuhan industri elektronik di dalam negeri. Selain itu, pemerintah seharusnya tidak lagi menganggap insentif fiskal sebagai berkurang atau hilangnya sebagian pendapatan negara. Sebab, dengan insentif fiskal bagi industri, justru akan mampu menghasilkan pendapatan yang lebih besar.
“MEA itu tidak ditujukan untuk meningkatkan perdagangan, tapi untuk menarik investasi masuk ke Asean. Pada saat MEA diimplementasikan, produsen global tidak lagi harus membangun pabrik di masing-masing negara di Asean. Mudah-mudahan, Indonesia dipilih investor menjadi basis produksi. Tidak hanya memasok Asean, tapi global,” ucapnya.
MEA juga bukan menjadi ajang persaingan antaraindustri di Asean. Dengan MEA, konsumen bisa memilih untuk membeli barang yang lebih murah, terserah produksi dari negara mana. Pasalnya, pada dasarnya, MEA ditujukan untuk meningkatkan daya saing Asean.
Partogi Pangaribuan menambahkan, MEA bukan sebagai ajang pertarungan menang-kalah. Namun, sebagai negara dengan populasi terbesar, Indonesia tidak sepatutnya kalah. Apalagi, implementasi perdagangan bebas sudah dimulai sejak lama. “Sekarang, hampir 90% bea masuk sudah nol persen. Ini bukan masalah baru,” tandasnya.
Ia menegaskan, Indonesia adalah bangsa yang kuat. Ini terbukti saat krisis 1998 akhirnya kita mampu bangun lagi, begitu juga pada 2008 dan awal tahun 2013. ”Struktur bangsa kita kuat, tidak perlu takut menghadapi MEA. Seperti kata pepatah, kalau mau jalan cepat ya berjalanlah sendiri. Kalau
mau jalan jauh, berjalanlah bersama,” kata Partogi.
Copyright © 2016 All rights Reserved | Template by Tim Pengelola Website Kemenperin